REALITA PUBLIK,- Ekspor dan investasi adalah dua hal yang diperhatikan karena dianggap penentu pertumbuhan ekonomi saat ini. Jawa Barat memberikan sumbangan terbesar terhadap ekspor nasional pada Januari-Juni 2021. Nilainya mencapai US$ 16,08 miliar atau 15,63 persen dari total ekspor nasional.
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat (Pemdaprov Jabar) terus berupaya memperluas pasar ekspornya diantaranya ke Tiongkok. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari upaya pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Duta Besar RI untuk Tiongkok dan Mongolia Djauhari Oratmangun mengatakan bahwa terdapat tiga sektor ekonomi potensial di Tiongkok yaitu pertama, bidang teknologi digital. Kedua, adalah kerja sama bidang kesehatan. Ketiga, kerja sama dari hulu sampai hilir di bidang tambang nikel.
Selain Tiongkok, Ekspor terbesar pertama Jabar antara lain ke Amerika Serikat dan Jepang (Radarcirebon.com, 3/9)
Selain aktivitas ekspor, investasi juga berusaha digenjot. Jawa Barat sendiri bertekad untuk menjadi pusat investasi di-Asean. Baru-baru ini, sebagaimana dilansir Bisnis.com, perusahaan teknologi Korea Selatan WI.Plat Co.,Ltd. mengembangkan proyek percontohan sistem manajemen kebocoran air berbasis Internet of Things (IoT), Artificial Intelligent (AI), dan Cloud Technology. Proyek untuk menekan angka non revenue water (NRW) atau air tak berekening di Indonesia ini akan dimulai di Kota Sukabumi. (3/9)
Hingga saat ini, Jawa Barat masih menjadi primadona investor asing. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Jawa Barat (Jabar) menyatakan realisasi investasi pada semester I tahun 2021 ke Jawa Barat masih tinggi yakni mencapai Rp72,46 triliun dan mampu menyerap sekitar 58 ribu lapangan kerja.( Bisnis.com, 2/8).
Akankah berbagai program investasi dan ekspor ini mampu memberikan kesejahteraan masyarakat? Ini menjadi harapan dan tantangan besar mengingat jumlah penduduk miskin Jabar tercatat tembus 4,2 juta jiwa. Persentase penduduk miskin provinsi Jawa Barat berada di urutan ke-16 terendah nasional. Namun jumlah penduduk miskin provinsi Jawa Barat masih di urutan ke-2 terbanyak nasional (per Maret 2021). (Inewsjabar, 15/8)
Jika dikatakan kondisi tersebut sebagai imbas pandemi, tampaknya tidak tepat. Karena jika dibandingkan keadaan sebelum pandemi misalnya tahun 2019, realisasi investasi ke Jawa Barat pada semester I 2019 sudah mencapai Rp68,6 triliun jumlah kemiskinan pada waktu itu mencapai 3.4 juta jiwa per maret 2021. (Bisnis.com,15/9)
Adapun tahun 2021 dengan jumlah investasi yang lebih besar, yaitu 72-an triliun, kemiskinan malah menembus angka 4,2 juta jiwa per Maret 2021.
Adapun jumlah pengangguran dibandingkan tahun 2019 yang mencapai angka 1,90 juta per Agustus 2019, justru menembus angka 8,75 per Februari 2021.
Sehingga jikapun ekonomi dikatakan mengalami pertumbuhan karena investasi dan ekspor naik, ternyata tidak dibarengi dengan penurunan kemiskinan dan pengangguran di Jawa Barat.
Belum lagi, standar kemiskinan yang dinilai banyak pihak tidak manusiawi, karena dihitung perkapita. Per Maret 2021 angka/Garis Kemiskinan(GK) Jawa Barat adalah Rp. 427.402 perkapita perbulan. Sehingga di atas itu, dikatakan tidak miskin. Bagaimana mungkin dikatakan tidak miskin, sedangkan untuk bertahan hidup dengan standar tersebut tentu sangat jauh dari cukup apalagi sejahtera.
Dengan demikian, konsep pertumbuhan ekonomi, ukuran kesejahteraan, dan garis kemiskinan yang ada saat ini tidak dapat mengukur secara ril kehidupan masyarakat. sehingga, mencapai kesejahteraan dengan standar ini akan mustahil tercapai.
Inilah ukuran-ukuran dalam sistem kapitalisme, yang akan mengantarkan kepada jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Mereka para investor besar itulah yang diuntungkan. Adapun rakyat kebanyakan jauh dari kata sejahtera. Sehingga wajar, dalam sistem kapitalisme kemiskinan bahkan kemiskinan kritis sulit dientaskan.
Adapun Islam, sebagai sistem yang holistik, mengukur kesejahteraan berdasarkan orang per orang. Standarnya adalah terpenuhinya kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, dan papan. Jika ada satu orang yang belum terpenuhi, maka akan diselesaikan. Terpenuhinya kebutuhan pokok ini adalah berdasarkan standar ma'ruf ( cukup). Ini sesuai dengan firman Allah SWT:
" Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada anak yang dilahirkan dengan cara ma’ruf" . (QS. Al-Baqarah ; 233).
Pemenuhan kesejahteraan orang perorang ini mungkin dilakukan, karena terkait dengan berbagai aturan lain dalam Islam.
Secara mikro, Islam memiliki aturan tentang aktivitas ekonomi antar individu/pebisnis. Negara akan melarang praktik-praktik yang bertentangan dengan syariat seperti riba, judi, profesi mengemis, penipuan, dsb. Jika terjadi kekurangan modal diselesaikan antar individu dengan akad syirkah. Adapun dalam kondisi khusus semisal pandemi, negara akan hadir memberikan modal berupa hibah atau pinjaman tanpa bunga.
Secara makro, akan diberlakukan kebijakan fiskal tanpa pajak dan utang, namun berdasar aset-aset produktif. Pajak dalam Islam hanya diberlakukan temporal yakni saat kas negara kosong, diberlakukan kepada orang kaya saja di kalangan kaum muslimin ( Annabhani, Sistem Ekonomi Islam).
Adapun jika dipungut diluar itu, dikatakan sebagai al-maks. Menurut sebagian ahli hadis dan fikih, karakteristik utama al-maks itu adalah pungutan zalim karena (a) tidak diperuntukkan untuk kepentingan masyarakat, (b) dipungut dari mereka yang tidak seharusnya membayar, dan (c) pungutan liar (bukan otoritas resmi). Pungutan seperti ini adalah haram, sebagaimana hadits Nabi SAW:
"Tidak masuk surga pemungut al-maks (cukai).” (HR Ahmad dan disahihkan oleh Al-Hakim)
Adapun sistem moneter Islam di bangun dengan berbasis zat yang memiliki nilai hakiki yaitu emas dan perak. Dengan ini, daya beli uang akan stabil.
Selain itu, kepemilikan aset berupa kepemilikan umum akan dikembalikan kepada masyarakat. Termasuk kepemilikan umum adalah seluruh aset yang vital yang terkait hajat hidup orang banyak. Hal ini berdasarkan hadis Nabi SAW :
" Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal yaitu air, api, dan padang gembalaan".
Kepemilikan umum misalnya berupa sumber air yang banyak, barang tambang, minyak bumi, nikel, hutan, dsb.
Adapun pengelola kepemilikan umum dibebankan kepada negara. Hasil pengelolaan kepemilikan umum ini akan dikembalikan kepada masyarakat berupa pelayanan urusan mereka. Negara hanya berperan sebagai pengelola dan tidak boleh memberikannya kepada swasta apalagi asing. Dengan mekanisme ini, kas negara akan gemuk sehingga tidak perlu tergantung kepada swasta/asing.
Demikianlah ketentuan-ketentuan yang diatur Islam, yang akan mengantarkan kepada kesejahteraan masyarakat secara ril, bukan hanya berupa data/angka-angka. Ayat Al-Quran ini hendaknya bisa mendorong kita untuk terikat dengan aturan-aturanNya:
" Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya dan Dia memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka. " ( Q. S. At-Talaq: 1&2)
Ditulis oleh: Siti Susanti, S.Pd. Pengajar Asy-Asyifa Bandung